April 2022

 FISIOTERAPI BEKASI -   Fisioterapi mampu membantu proses penyembuhan pasca kecelakaan atau operasi, namun tahukah Anda bahwa fisioterapi juga mampu menekan penggunaan opioid?




Banyak pengidap kecanduan opioid pertama kali terpapar lewat pemakaian opioid sebagai obat resep untuk mengurangi rasa nyeri. Obat-obatan berbasis opioid dinilai mampu mengurangi penyakit akut, seperti rasa nyeri pasca operasi.

Sayangnya, efektivitas opioid terus menurun seiring berjalannya waktu, sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk memperoleh hasil yang sama dibandingkan periode awal pemakaian. Bahkan tidak jarang pula yang justru merasakan sakit lebih parah saat mengonsumsi opioid. Celakanya lagi, tidak sedikit orang yang beralih dari opioid ke heroin atau fentanyl.

Semakin tinggi angka konsumsi opioid menyebabkan krisis yang berimbas pada dunia medis. Mark Bishop selaku Associate Professor of Physical Therapy dari University of Florida menyebutkan, diperlukan adanya pembatasan opioid untuk mencegah krisis berkelanjutan. Diperlukan alternatif lain yang mampu meredakan rasa nyeri sekaligus mengurangi penggunaan opioid, salah satunya fisioterapi.

Solusi ini tidak hanya diusung para pakar fisioterapi saja. Sebuah surat rujukan kepada Presiden Amerika Serikat yang dikirim oleh perwakilan Commission on Combating Drug Addiction and the Opioid Crisis memaparkan, “Individu yang mengidap penyakit akut atau kronis harus mempunyai akses terhadap alternatif pereda rasa sakit yang tidak mengandung opioid. Segala hal mulai dari fisioterapi hingga pengobatan non-opioid harus mampu dijangkau dengan mudah sebagai alternatif bagi pasien.”

Seperti dilansir laman The Conversation, lembaga Centers for Disease Control and Prevention juga merilis pedoman yang merekomendasikan fisioterapis sebagai metode pengobatan pertama bagi pasien penyakit kronis. Pedoman yang diluncurkan pada 2016 lalu ini didukung dengan sejumlah riset, termasuk penelitian mengenai penggunaan opioid untuk gangguan tulang yang lazim terjadi, seperti nyeri punggung, lutut, atau leher.

Studi ini menunjukkan, pasien dengan gangguan tulang memiliki kecenderungan 89% lebih rendah dalam menerima resep obat opioid jika penyakitnya ditangani oleh fisioterapis. Semakin cepat pasien berobat ke fisioterapis, lebih besar pula kemungkinan untuk tidak mengonsumsi opioid.

Semakin cepat pasien berobat ke fisioterapis, lebih besar pula kemungkinan untuk tidak mengonsumsi opioid.

Dari kondisi ini, terdapat dua kesimpulan yang dapat Anda ambil. Pertama, fisioterapi menjadi metode penyembuhan yang efektif untuk berbagai rasa nyeri. Kedua, semakin cepat Anda memeriksakan kesehatan ke fisioterapis, semakin besar pula kemungkinannya untuk tidak diberi resep obat berbasis opioid.

FISIOTERAPI BEKASI -    Dalam hal keberpihakan terhadap lansia dan promosi gaya hidup aktif, kebijakan kesehatan di Indonesia sudah sesuai dengan isu dunia kebijakan kesehatan global. Sebagai bagian dari komunitas dan kesehatan di Indonesia, fisioterapi harus mampu berkontribusi sesuai lingkup kompetensi fisioterapi : 'gerak dan fungsi' dan keahlian fisioterapi : 'excercise expert'



Bagi saya tema 'lansia' dan 'gaya hidup aktif'yang kerap diusung itu fisioterapi banget . Saya belum pernah membaca catatan pasti seberapa keterlibatan / atau dilibatkannya profesi fisioterapi dalam berbagai kegiatan untuk lansia. Di berbagai puskesmas, kegiatan seperti prolanis dengan senam lansia-nya cukup marak dan menjadi program nasional. Berapa persen fisioterapi terlibat disana?
Kadang kita terjebak di ranah kuratif - rehabilitatif. Kita begitu canggih menghadapi lansia dengan nyeri lutut dan nyeri pinggang atau stroke, tapi sedikit gagap jika harus berhadapan dengan upaya promotif. Kontribusi promotif fisioterapi untuk lansia / geriatri apa?
Di zaman dimana semua rumah sakit harus terakreditasi, lansia punya tempat tersendiri. Setiap rumah sakit wajib memiliki pelayanan geriatri. Dan fisioterapi mendapat peluang bagus disana, lihat PMK 79 tahun 2014 tentang pelayanan geriatri di rumah sakit. Fisioterapi menjadi bagian dari tim pelayanan geriatri. Apa kontribusi fisioterapi untuk poli geriatri?
Di usianya yang ke 50 tahun ini, fisioterapi Indonesia harus mampu menjawab tantangan-tantangan dengan lebih cerdas dan menempatkan profesi ini di tempat yang lebih strategis di berbagai ranah pelayanan kesehatan.
Sudah selayaknya fisioterapi menjadi expert di bidang kesehatan geriatri, baik di ranah promotif, prefentif, kuratif hingga rehabilitatif. Mulai dari fasilitas kesehatan tingkat 1 berbasis komunitas hingga ke fasilitas kesehatan rujukan seperti rumah sakit.
Mengingat pentingnya fisioterapis Indonesia meningkatkan kualitas pelayanan di bidang kesehatan geriatri , Temu Ilmiah Tahunan Fisioterapi ( TITAFI ) 2019 di Balikpapan nanti mengambil tema : "Peran Fisioterapi Pada Kesehatan Lanjut Usia"

 FISIOTERAPI BEKASI -   Persoalan yang dihadapi para pasien fisioterapi yang terkena dampak peraturan baru BPJS Kesehatan rupanya telah lama diupayakan untuk mencari jalan keluarnya. Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) beberapa kali melakukan audiensi dengan sejumlah pihak, namun selalu menemui jalan buntu.



 
Upaya pencarian solusi dimulai pada tahun 2014, ketika BPJS Kesehatan menerbitkan peraturan yang mengharuskan pasien fisioterapi untuk menjalani tindakan dari dokter rehabilitasi medik terlebih dahulu. Perwakilan IFI menemui Menteri Kesehatan yang kala itu dijabat oleh Nafsiah Mboi.
 
“Tahun 2014, kami bertemu Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi. Pertemuan itu termasuk juga bersama perwakilan BPJS dan semua yang berkaitan dengan masalah ini. Bu Menteri bilang, peraturan itu tidak fair dan harus diganti, tetapi Direktur BPJS tidak menggubris,” ungkap Ali Imron, Ketua Umum IFI, Sabtu (28/7), yang menambahkan bahwa Menteri Kesehatan menunjukkan respon positif atas persoalan ini.
 
Tidak memperoleh respon memuaskan dari pihak BPJS, perwakilan IFI pun mengirim surat kepada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik yang salah satunya menaungi BPJS Kesehatan. “Di sana, kami diterima. Kemudian keluar surat Dirjen Pelayanan Medik yang intinya BPJS untuk mengubah peraturan itu. Namun oleh pihak BPJS tidak diikuti, malah menyebutkan bahwa peraturan itu tidak mengatur fisioterapi, melainkan rehabilitasi medik,” papar Imron.
 
Bukan kali ini saja Imron dan perwakilan IFI lainnya menyampaikan keluhan kepada Dirjen Pelayanan Medik. “Kam berkirim surat lagi ke Dirjen yang kedua, karena saat itu Dirjen yang pertama sudah pensiun, sehingga kami kirim surat yang baru. Responnya sama, Dirjen menyebutkan letak kesalahan ada pada BPJS.” Sayangnya, hal ini kembali berujung pada jalan buntu, karena pasca diterbitkannya surat edaran dari Dirjen Pelayanan Medik, pihak BPJS masih juga tidak menanggapi.
 
Permasalahan di tahun 2014 belum juga usai, Rabu (25/7) lalu, BPJS Kesehatan kembali menerbitkan peraturan yang kontroversial. Peraturan ini menyebutkan pembatasan layanan terhadap tiga tindakan medis, termasuk fisioterapi. Menurut peraturan baru, BPJS hanya dapat menanggung dua kali tindakan fisioterapi dalam sepekan. Jika pasien direkomendasikan untuk mendapat tindakan lebih dari dua kali dalam sepekan, maka pasien harus membayar kelebihannya dengan biaya pribadi.
 
Munculnya peraturan baru ini kembali mendorong IFI untuk melakukan audiensi bersama pihak BPJS. Alur perawatan yang berbelit-belit dinilai merugikan pasien dan menghambat proses penyembuhan pasien yang semestinya dapat dipangkas menjadi lebih singkat dan praktis. Hal ini diungkapkan Muhammad Irfan selaku Sekretaris Jenderal IFI, Sabtu (28/7).
 
“Terakhir kami berkumpul di Jakarta untuk meminta audiensi, kami ke sana bukan untuk demo, tetapi untuk memberikan rumusan yang menurut kami prosesnya tidak efektif. Fisioterapis tidak bisa memberikan layanan terbaik, karena tidak ada hak memeriksa,” tutur Irfan.
 
Irfan menambahkan, pihak BPJS harus melakukan pengujian kembali terhadap peraturan ini agar tidak ada pihak yang dirugikan, apalagi jika harus memangkas hak pasien dalam memperoleh perawatan yang optimal. “Alur yang tidak jelas ini menyebabkan inefisiensi, kami meminta BPJS untuk mengevaluasi penilaian kemanfaatan. Mohon dinilai pasien itu mendapatkan manfaat apa dari fisioterapis dan manfaat apa yang didapat dari dokter rehabilitasi medik. Kalau hal ini sudah dilakukan, baru terbuka dimana letak permasalahannya,” ujar Irfan.

 FISIOTERAPI BEKASI -   “Bali International Convention Center dipilih sebagai lokasi, karena tempat ini sudah sering dijadikan sebagai lokasi diselenggarakannya acara-acara bertaraf internasional, mulai dari pertemuan pemimpin dunia sampai Miss World. Sehingga hal ini menjadi jaminan keamanan bagi para pengunjung,”


Menyelenggarakan acara bertaraf internasional tentu bukan hal yang mudah. Hal ini juga dirasakan oleh Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) yang menggelar event Intenational Conference Indonesian Physiotherapy Association (ICIPA), di Bali International Convention Center, 14-16 Agustus 2018. Acara ini diikutsertakan oleh para praktisi fisioterapi dari dalam dan luar negeri, juga mengundang para pembicara berkelas internasional.

Sayangnya, berbagai isu keamanan kerap kali membuat wisatawan mancanegara merasa ragu untuk singgah ke Indonesia. Ditambah lagi dengan bencana gempa yang melanda Lombok beberapa waktu lalu, yang getarannya terasa hingga ke Bali. Untuk masalah ini, pihak IFI tidak mau main-main.

“Bali International Convention Center dipilih sebagai lokasi, karena tempat ini sudah sering dijadikan sebagai lokasi diselenggarakannya acara-acara bertaraf internasional, mulai dari pertemuan pemimpin dunia sampai Miss World. Sehingga hal ini menjadi jaminan keamanan bagi para pengunjung,” ungkap Muhammad Irfan selaku Sekretariat Jenderal IFI.

Irfan menambahkan, mengadakan acara berkelas dunia memang perlu mengutamakan faktor keamanan agar para pengunjung juga tetap mearasa nyaman saat menikmati berbagai rangkaian acara. “Seperti saat kemarin ada gempa, lalu orang-orang akan bertanya, bagaimana kondisinya di Bali? Kami ingin mereka memahami bahwa tempat ini sangat high security bagi mereka,” sambung Irfan.

Tahun ini menjadi kali keempat digelarnya perhelatan ICIPA 2018 yang menjadi ajang pertemuan para fisioterapis dari Indonesia dan luar negeri. ICIPA 2018 diisi dengan tiga agenda utama, yakni konferensi, workshop, dan pameran teknologi terkini. Dalam agenda konferensi, ICIPA tahun ini membahas sejumlah topik menarik seputar ilmu fisioterapi dan perkembangan teknologi mutakhir. Para audiens tidak hanya dapat mendengarkan pemaparan dari para pembicara, tetapi juga turut serta dalam sesi interaktif bersama para profesional papan atas.

Sedangkan untuk agenda workshop terdapat tiga topik yang dapat diikuti para peserta, yakni “Exercise for Elderly with Mild Dementia” yang dibawakan Prof. Marco Pang, Ph.D., PT; “Integrated Manual Therapy in Thoracic Spine” oleh Vaidas Stalioraitis, FACP, B.Sc., GEM, M.Sc., MCTA; dan “Ultrasound Imaging Technology in Physical Therapy” oleh Prof. Wan-Hee Lee. Sedangkan untuk eksibisi, menghadirkan pameran Physiotherapy Health Industrial and Education Expo ( IFEX ) yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center area Pecatu Hall 1-2 dan Pre-Function.


FISIOTERAPI BEKASI -    ( Oleh: Wisnu Prasetyo Adhi, Ftr ) Peran utama fisioterapis sebagai bagian dari tim multidisiplin adalah untuk memaksimalkan kemampuan fungsional pasien sambil meminimalkan komplikasi sekunder yang ditimbulkan melalui gerakan.



Penyakit parkinson (parkinson disease) adalah salah satu gangguan neurodegeneratif paling umum yang mempengaruhi sistem motorik dan non-motorik di dalam otak manusia. Defisit dalam mobilitas, kelincahan, dan fungsi eksekutif dapat dilihat pada pasien yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengatur dan menjalani kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Beberapa pilihan penanganan pengobatan/treatment saat ini ada yang membentuk pendekatan multidisiplin termasuk obat, perawatan bedah dan tentunya fisioterapi.

Apa itu Penyakit Parkinson?

Penyakit Parkinson (Parkinson Disease) pertama kali diakui sebagai penyakit pada awal 1800-an oleh James Parkinson. Ini adalah gangguan neurodegeneratif kompleks yang menyebabkan gejala motorik dan non-motorik. Yang terakhir ditandai dengan gangguan dalam proses kognitif termasuk regulasi, perencanaan dan pelaksanaan perilaku. Ciri-ciri sebelumnya: bradikinesia, didefinisikan sebagai kelambatan gerakan dan terkait dengan gangguan basal ganglia,kelompok neuron yang terletak jauh di dalam belahan otak (tepatnya pada substansia nigra, sistem pada otak yang menghasilkan dopamine neurotransmitter); kekakuan/rigiditas, ditandai dengan peningkatan resistensi; dan gemetar/tremor saat istirahat/pasif.

Penyebab dan Treatment untuk Penyakit Parkinson

Gejala Parkinson dianggap timbul/muncul karena hilangnya sel dopaminergik dalam “substantia nigra”. Penelitian belum menyimpulkan bagaimana kematian sel-sel yang memproduksi dopamin terjadi, bagaimanapun, diduga memiliki hubungan dengan faktor genetik dan lingkungan. Beberapa mutasi monogenetik kausatif telah dikaitkan dengan timbulnya penyakit parkinson. Meskipun, teori ini dianggap hanya menjelaskan sejumlah kecil kasus Penyakit Parkinson.

Berdasarkan penelitian belum ada obat permanen untuk penyakit parkinson. Baik secara tradisional, obat-obatan, pembedahan dan terapi lain digunakan untuk meredakan gejala penyakit. Pada dasarnya, obat yang diresepkan untuk menghilangkan gejala adalah:
  • Obat yang meningkatkan kadar dopamin di otak
  • Obat-obatan mengubah bahan kimia otak lainnya di dalam tubuh
  • Obat-obatan yang membantu dalam mengatur gejala non-motorik

Namun, karena penyakit parkinson adalah kelainan progresif, gejala motorik sering dapat memburuk di samping efektivitas obat yang diresepkan. Lebih lanjut, penggunaan jangka panjang dari obat antikolinergik spesifik dan agonis dopamin telah ditemukan untuk mengendapkan komplikasi motorik seperti gerakan tidak sadar dan fluktuasi respons.

Stimulasi otak dalam juga terbukti efektif dalam meredakan beberapa gejala yang dialami. Namun, untuk sebagian besar orang yang hidup dengan penyakit parkinson, diperlukan metode pengobatan tambahan seperti fisioterapi untuk membantu mobilitas dan meningkatkan kemandirian.

Untuk menargetkan berkurangnya gejala motorik dan non-motorik, fisioterapi sering ditawarkan kepada mereka yang menderita parkinson sebagai bagian dari pendekatan multidisiplin dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka yang hidup dengan penyakit parkinson ini. Ini dicapai dengan meningkatkan jangkauan gerakan dan kapasitas fisik dalam kegiatan sehari-hari melalui berjalan kaki, serta praktik kegiatan fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya para fisioterapis tidak melupakan faktor “bio-psychosocial” tiap-tiap individu penderita parkinson.

Fisioterapi Untuk Penyakit Parkinson

Secara umum, tingkat rujukan untuk Fisioterapi untuk penyakit parkinson (parkinson disease) masih rendah, namun, dalam beberapa tahun terakhir, tingkat rujukan telah meningkat baik di tingkat rumah sakit maupun klinik.

Peran utama fisioterapis sebagai bagian dari tim multidisiplin adalah untuk memaksimalkan kemampuan fungsional pasien sambil meminimalkan komplikasi sekunder yang ditimbulkan melalui gerakan.

Fisioterapi sebagai pilihan treatment untuk parkinson berfokus pada transfer (berpindah tempat), perbaikan postur dan fungsi ekstremitas atas maupun bawah, keseimbangan dan kapasitas fisik serta aktivitas. Fisioterapis juga dapat menggunakan latihan kognitif dan strategi, termasuk berolahraga untuk mempertahankan atau meningkatkan tingkat kemandirian pasien dan kualitas hidup secara keseluruhan.

Pada tahap awal penyakit parkinson, ketika gejalanya belum begitu berat, fisioterapis berperan dalam mempromosikan / mengenalkan keterlibatan penderita parkinson dalam program latihan, dimana program latihan ini memanfaatkan waktu luang penderita parkinson yang bertujuan meningkatkan kebugaran dan inklusi dalam kegiatan dalam komunitas bersosial. Ketika gejalanya berkembang, pasien diajari strategi gerakan untuk mengatasi kesulitan dalam menghasilkan gerakan dan berpikir.

Ini termasuk salah satu keahlian fisioterapi khususnya para fisioterapis yang berkecimpung,dan tentunya fokus, berpengalaman, juga memiliki keahlian dalam memeriksa gangguan gerak dan fungsi, juga menangani kasus/kondisi gangguan saraf/neurologi yang tergabung dalam Perhimpunan Fisioterapi Neurologi Indonesia (PFNI) dalam memeriksa dan menangani,mengembangkan strategi untuk mengkompensasi hilangnya fungsi akibat penyakit parkinson (parkinson disease).

Berdasarkan literatur penelitian yang ada, dampak keberadaan fisioterapi untuk penyakit parkinson, jelas bahwa berbagai pendekatan yang digunakan oleh fisioterapi bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Selain itu, ada beberapa pendekatan melalui gerakan yang digunakan oleh fisioterapis yang memiliki manfaat jangka pendek (contoh DNS “Dynamic Neuromuscular Stabilization”Bobath Concept, PNF “Propioceptif Neuromuscular Fascilitation”, Feldenkraiz dll). Telah ditemukan bahwa latihan berbasis aerobik dan pembelajaran paling cocok untuk individu yang menderita Penyakit Parkinson (Parkinson Disease). Latihan-latihan maupun konsep-konsep pendekatan gisioterapi ini secara khusus bermanfaat sebagai “neuroprotective” pada lansia yang terkena parkinson.

 FISIOTERAPI BEKASI -   Pandemi COVID-19 yang melanda dunia mempengaruhi begitu banyak aspek kehidupan manusia dan bagaimana menjalaninya. Dampak paling langsung adalah sektor kesehatan, tak terkecuali fisioterapi. 



Di Indonesia, laju penyebaran COVID-19 masih menjadi tantangan berat , terutama bagi tenaga kesehatan. Banyaknya tenaga kesehatan yang terpapar  -baik yang berstatus ODP, PDP, terkonfirmasi positif maupun yang meninggal dunia. Kewaspadaan dalam bekerja dan ketersediaan APD merupakan hal krusial.


Merespon perkembangan ini PP IFI mengeluarkan Surat Edaran kepada seluruh direktur dan pimpinan fasilitas layanan kesehatan se Indonesia.


Paska terbitnya surat tersebut, Infokom PP IFI mengadakan wawancara daring dengan Ketua Umum PP IFI M Ali Imron untuk memperbincangkan situasi yang dihadapi fisioterapi saat ini.


Mari kita simak, 


Kemarin PP IFI sudah mengeluarkan Surat Edaran untuk direktur RS dan pimpinan fasyankes se Indonesia, apa harapannya setelah ini ?


Tujuan surat edaran itu sesungguhnya adalah justru agar pelayanan fisioterapi tetap dilaksanakan tetapi dalam kondisi yang sangat aman baik bagi fisioterapis maupun bagi pasien.


Ingat bahwa yang ada di rumah sakit hari ini bukan hanya yang terpapar COVID-19. Tapi juga ada pasien-pasien lain dimana pelayanan fisioterapi menjadi kebutuhan utama.


Sempat ada pertanyaan dari beberapa anggota terkait pelarangan penggunaan elektroterapi, apakah ada rasionalisasi terkait hal tersebut ?


OK! Di poin ini, sebenarnya saya hanya ingin fisioterapis Indonesia patuh saja. Sami'na wa atho'na. Tidak mungkin pengurus membuat keputusan tanpa alasan ilmiah.


Namun begitu, jawaban yang paling sederhana adalah, dalam manejemen resiko prisipnya adalah menghindari keburukan lebih utama dibanding mengambil manfaat.


Apalagi dalam konteks modalitas itu bisa di gantikan dengan modalitas lain yang lebih aman dan secara evidence justru lebih baik.


Saya rasa tidak hanya fisioterapi, tapi hampir semua pelayan kesehatan mengalami penurunan.


Pandemi COVID-19 ini memang akan membawa kita pada cara cara baru dalam nenjalani kehidupan. Bertahun-tahun kita bekerja dengan leluasa dan tiba-tiba kita menjadi begitu khawatir hanya misalnya penghasilan menurun selama 3 bulan. Tentu ini sebua manejemen yang salah.


By the way, pandemi ini juga menawarkan peluang baru buat fisioterapis terutama dengan munculnya tele-fisioterapi misalnya. Tele-fisioterapi ini bisa berbasis rumah sakit ataupun berbasis praktik mandiri.


Tele-fisioterapi adalah hal baru bagi kita, mungkin bagi kebanyakan fisioterapis, ini barang baru yang perlu dipelajari bagaimana menjalankannya. IFI berencana memfasilitasi seminar online membahas peluang tele-fisioterapi di masa pandemi ini?


Ya pasti! cara-cara baru harus menjadi concern kita hari ini. Profesi apapun  kita.


Terakhir, adakah pesan Bapak untuk fisioterapi Indonesia?


Fisioterapis Indonesia harus menjadikan pandemi kali ini sebagai hikmah, minimal dalam empat hal :


Pertama, munculnya kesadaran, bahwa otonomi  profesi itu nyata dan harus terimplementasikan. Hal ini tidak bisa di tawar . Otonomi bukan hanya bahan kuliah yang bersifat imaginer.


Kedua, bahwa fisioterapi itu karakteristiknya khusus/ unik, maka dia berperan pada gangguan kesehatan dengan sifat khusus pula.


Ketiga, fisioterapi Indonesia harus menggiatkan forum ilmiah dan penelitian. Tidak bisa tidak. Kalau tidak maka fisio akan tenggelam.


Ke empat, management resiko harus menjadi kredo baru bagi fisioterapi Indonesia. Keselamatan adalan inti dari gerak dan fungsi tubuh.


FISIOTERAPI BEKASI -    Inilah dunia dan kita semua sekarang sedang ada di dunia , ini kalimat pembuka yang sebenarnya tidak penting dan tujuannya hanya mengingatkan , siapa tahu kita semua lupa.



Di dunia yang oleh Tuhan disebut sebagai fana dan permainan ,memungkinkan adanya fenomena yang bertolak belankang dan berlawanan , sesuatu yang dilenyapkan hari ini dicari dimasa yang akan datang, sesuatu yang jadi racun hari ini menjadi obat di masa depan bahkan sesuatu yang ditakuti mengancam di hari ini kemudian dicari dan dianggap menguntungkan . Dala m koneks dunia seperti ini para “wasis” di jawa mengingatkan kita dengan istilah “ojo nggumunan”.

Permenkes No 80 th 2013 tentang Ijin Praktik Fisioterapi adalah salah satu fenomena itu. Peraturan menteri yang digagas para “wasis” dalam bidang fisioterapi tersebut sangat visioner pada zaman itu. Waktu yang baru 4 tahun lalu bisa terasa jauh kebelakang dibanding dengan kemajuan ilmu dan profesi Fisioterapi di dunia saat tulisan ini dibuat.

Permenkes 80 dianggap sebagai ancaman yang menakutkan, perubahan fisioterapi pada level profesi diaggap imajiner dan orang orang yang memperjuangkannya adalah penghayal . Hari ini Alhamdulilah fenomena terbalik terjadi, permenkes 80 tak lagi menjadi ancaman dan sudah menjadi peluang.

Saya sesungguhnya kurang suka menggunakan kata “eforia” sebab dalam benak saya eforia berkonotasi kegembiraan berlebihan yang dilakukan oleh orang orang yang tak mengerti dan tak mau belajar mengerti. Misalnya setelah dalam bidang politik kata eforia lebih sering digunakan. Setelah tergulingnya orde baru maka masyarakat berbondong bondong bikin partai politik hingga muncullah puluhan partai politik bak jamur dimusim hujan. Dan hari ini puluhan partai itupun berguguran. Sebab pendiri partai itu tak paham apa yang mereka lakukan. Inilah makna eforia itu yang tidak saya sukai.

Maka antusisme sejawat fisioterapis melanjutkan pendidikan fisioterapi itu adalah bukan eforia - dan semoga bukan eforia, akan tetapi adalah “jihad” yaitu sebuah kesadaran hakiki untuk melakukan perbaikan diri berperang melawan “kejahilan” dengan sekuat tenaga “bi amwal wa anfus”. Sebuah kesadaran diri bahwa profesi fisioterapi ditutut semakin baik dalam melayani manusia hamba Tuhan yang mulia.

Teruntuk seluruh kolega yang melanjutkan pendidikan mari kita “bertakbir” memuliakan Tuhan bahwa perkembangan profesi ini adalah bagian dari skeario -Nya dalam memuliakan kita. Mensyukurinya menjadi wajib . Caranya dijalankan dengan “ihsan”.

Kata Fana saya gunakan sebagai penutup . Para ahli sufi menggunakan kata fana yang berarti lenyap, hancur dan hilangya (suatu keburukan) dan datangnya atau munculnya sifat “baqa“ kekekalan sifat-sifat terpuji. Maka pendidikan profesi adalah munculnya kebaikan. 

FISIOTERAPI BEKASI -    Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit yang perlu kita waspadai. Pada tahun 2012 hipertensi mendapat predikat penyakit pembunuh nomor satu di dunia.Tekanan darah adalah kekuatan darah untuk memompa darah dari jantung melalui arteri. Dan, hipertensi adalah kondisi ketika tekanan darah meninggi. Tekanan darah yang terlalu tinggi inilah yang kemudian akan mengganggu sirkulasi darah, serta menimbulkan penyakit lain, salah satunya penyakit jantung.



Hipertensi juga bisa menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya stroke, yaitu kematian jaringan di otak karena kurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Tingginya tekanan darah juga dapat penyebabkan pembuluh darah pada ginjal terus tertekan dan lama-kelamaan rusak. 

Data dari WHO (World Health Organization) menunjukkan jumlah penderita hipertensi di dunia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 sekitar 1,13 miliar orang di dunia menderita hipertensi, diperkirakan pada 2025 akan ada 1,5 miliar orang yang terkena hipertensi.

Mengutip informasi dalam situs kementerian kesehatan republik Indonesia yang dipublikasikan pada Rabu, 16 Mei 2018, menurut data BPJS Kesehatan biaya pelayanan hipertensi mengalami peningkatan setiap tahunnya, yakni Rp. 2,8 triliun pada 2014, Rp. 3,8 triliun pada 2015, dan Rp. 4,2 triliun pada 2016.

Berbagai upaya dilakukan oleh lembaga dan profesi kesehatan untuk mencegah terjadinya hipertensi dan menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh hipertensi. Dokter dan apoteker menyarankan minum obat secara teratur, ahli gizi menganjurkan pengaturan maknan dan diet sehat, sedangkan fisioterapis mengajurkan aktif bergerak dan berolah raga.

Olahraga dikatakan memiliki kemampuan yang nyaris sama dengan obat yang biasa diberikan ke pasien tekanan darah tinggi atau hipertensi.

Melakukan aktivitas fisik yang tepat dan sederhana, tapi dilakukan selama 30 menit setiap hari dapat menurunkan tekanan darah 5-10mmHg.

"Pencapaian ini sama dengan beberapa obat hipertensi," kata seorang fisioterapis dari LIFE Center, Singapore General Hospital (SGH), Png Eng Keat, dikutip dari situs Health XChange Singapore pada Senin, 9 Juli 2018.

Menurut Png, tekanan darah tinggi atau hipertensi dipengaruhi oleh resistensi pembuluh darah perifer atau pembuluh-pembuluh darah di luar jantung. Semakin tinggi resistensi perifer, semakin tinggi pula tekanan darahnya.

Dengan rajin berolahraga, efek jangka panjang yang akan dirasakan pasien adalah, berkurangnya resistensi pembuluh darah perifer melalui efek hormonal dan adaptasi struktural. Olahraga juga dapat membantu seseorang mempertahankan berat badan ideal dan sehat. Ini penting juga untuk mengontrol tekanan darah.

Saat ini studi mengenai pengaruh olah raga terhadap hipertensi telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Pada 18 Desember 2018 lalu British Journal of Sport Medicine mepublikasikan studi meta analisis yang membandingkan olah raga dan obat antihipertensi dalam menurunkan tekanan 

 FISIOTERAPI BEKASI -   Dua puluh enam tahun membangun rumah dalam akal dan hati dengan bahan bangunan yang bernama fisioterapi epistemologis dan fisioterapi aksiologis, tak pernah menghentikan kalimat tanya yg selalu muncul. Satu pertanyaan awal terjawab ,maka segera muncul pertanyaan baru yang sering kali makin dalam dan radikal.

 

Hari hari ini kalimat tanya itu semakin 'Bold' dan 'Italic', menebal dan memancing nalar pikir. Pertanyaan pertama adalah seberapa lama sesungguhnya seseorang itu menjadi fisioterapis?. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar dalam kajian ilmiah bahwa Fisioterapi itu bermanfaat?
Pertanyaan pertama muncul dari adanya hypothesis universal khususnya di negri kita bahwa tidak ada beda, antara pendidikan 3 tahun, 4 tahun dan 5 tahun. Kriteria KKNI sesungguhnya hanya ukuran diskriptif dalam bahasa dan tak bisa ditemukan dalam kenyataan empiris. Jika pola pikir, pola tindak dan pola mental sebagai ukuran kulaitatif ,maka sungguh tak ada beda. 
 
Menjelaskan hal ini sungguh tak mudah, akan tetapi bisa kita bangun dua kutub jawaban. Pertama bahwa waktu antara 3, 4 dan 5 itu sesungguhnya berbeda sangat tipis sehingga tak mampu menimbulkan perbedaan hasil. Kedua bahwa waktu 3, 4 dan 5 itu sesungguhnya adalah waktu yang terlalu kurang karena waktu yang diperlukan untuk menjadi seorang fisioterapi adalah 20-40 tahun. Waktu ini minimal jika kita ingin menggandengkan dengan apa yang dilakukan prof Ah Cheng Goh ,yang memerlukan waktu riset selama 20 tahun hanya untuk menemukan satu bangunan dosis modalitas physical agent. Atau kita bisa gunakan waktunya Prof. Shearmann, untuk memahami bahwa persoalan muskuloskleletal adalah persoalan movement impairment
 
Tentu saja secara metodologis masih patut dipertanyakan karena sesungguhnya penelitian itu bersifat spekulatif. Statistik adalah matematis yang paling tinggi ketidakpastiannya. 
 
Menjawab pertanyaan apakah fisioterapi bermanfaat akan jauh lebih rumit. Fisioterapi adalah upaya mempengaruhi struktur yg paling kecil dalam tubuh manusia (DNA) untuk merespon secara alamiah atas perubahan lingkungan (hemostasis) yg dilakukan fisioterapi. Hasilnya sesungguhnya juga sangat spekulatif. Hal ini berbeda misalnya dengan ilmu medis, dimana hasil intervensi fisik, maupun kimia dapat dilihat secara kasat mata dan dipindahkan kedalam laboratorium (in fitro atau in vivo) Sedang bagi fisioterapi seringkali laboratorium itu adalah manusia itu sendiri. Manusia adalah entitas yang akan salah jika dipandang hanya pada sesuatu yang nampak pada dirinya. Ia adalah entitas multi dimensi yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. 
 
Oleh karena itu sesungguhnya demensi waktu menjadi sangat tak terbatas jika kita ingin memahami manusia. Semakin terbatas kita belajar tentang manusia maka semakin sedikit pengetahuan kita tentangnya.
 
Melihat manfaat fisioterapi sesungguhnya juga sangat hypotetis dan hasilnya juga sangat spekulatif. Sesungguhnya hubungan antara fisioterapis dengan manusia yang dilayaninya bersifat dialektis. Sebuah hubungan yang harus mampu membangun konklusi yg disepakati meskipun sifatnya bisa sementara terbatas ruang dan waktu.
 
Upaya upaya permintaan matematis atas manfaat fisioterapi bukan saja menghentikan proses dialektika, akan tetapi bisa menjebak kita pada kebodohan yang distandarkan. 

 FISIOTERAPI BEKASI -   Akhir akhir ini saya menangkap ada dua kelompok yang saling kontradiktif dalam perkembangan Fisioterapi di Indonesi. Dua kelompok itu adalah kelompok yg galau bercampur ragu sementara kelompok lainnya adalah kelompok optimistik bercampur dengan gairah yg menyala. Satu kelompok memilih aksi dan kelompok lainnya memilih berdiskusi. Tanpa harus mempertentangkan siapa yang lebih kuat dan lebih baik, saya melihat meminjam istilah socrates (450 SM)sebagai proses dialektika. Sebuah konstruksi pemikiran yang dinamis , sebuah kontinuitas yang saling mengisi dalam konsep tesis anti tesis dan sintesis. 


 
Pespektif sejarah menjadi penting sebab dalam pemahaman keilmuan sejarah bukanlah hanya sekedar catatan peistiwa masa lalu akan tetapi sesungguhnya sejarah memuat informasi tentang masa depan. Dalam catatan The World Confederation for Physical Therapy ( WCPT) profesi ( teknik atau metode) fisioterapi sudah ada sejak 2.500 th (SM) jauh sebelum manusia membuat tentang konstruksi metode ilmiah. Dan hari ini pfofesi fisioterapi masih eksis dan bahkan berkmbang meluas di seluruh dunia. 
Fisioterapi sudah di akui , pada akhir abad 18 sebagai pelayanan stanadar di rumah sakit di United Kingdom dan awal abad 19 fisioterapi medapatkan pengakuan ilmiah dan di ajarkan di level perguruan tinggi di Selandia Baru. Sejarah kemudian mencatat ptofesi fisioterapi sangat diakui di Selandia Baru, kemudian berkembang di Amerika Serikat dan Australia , sementara di UK pengakuan tentang eksistensi fisioterapi sebagai profesi baru muncul di akhir abad ke dua puluh. 
Helen Hislop (1974) kemudian mencatat , bahwa berbagai ragam perkembangan yang berbeda beda itu tergantung pada kemmapuan komunitas fisiotetapi di suatu negara untuk menjawab tantangan yang dihadapi fisioterapi oleh 3 hal :

1. Tantangan Ilmiah

Tantangan ilmiah menjadi persoalan ilmiah yang perlu disikspi oleh ilmuwan fisioterapi. Isu ini lebih pada upaya menjawab pertanyaan apakah fisioterapi bermanfaat bagi kesehatan ( preventive, curative dan rehabilitatif). Menjawab pertanyaan ini ternyata bukanlah sesuatu yg mudah, meskipun Hislop yakin bahwa profesi fisioterapi akan mampu menjawab tantanngan ilmiah ini dimasa depan. Namun demikian sesungguhnya tidaklah mudah , apalagi untuk negara negara dunia ketiga seperti Indonesia, dimana budaya pikir dan budaya kerja yg didominasi , kebiasaan, testimoni dan tak terukur, alias budaya ilmiah yg masih rendah. Menjawab tantangan ilmiah hanya bisa dilakukan dengan membuktikan dengan cara yang sama dengan yg dilakukan oleh medical science bahwa intervensi yg dilakukan oleh fisioterapi terbukti secara meyakinkan mempu mempengaruhi proses biologi molekuler, biokimia dan bioseluler. Pembuktian pada level ini akan meyakinkan para ilmuwan bahwa fisioterapi terbukti bermanfaat pada prefensi dan kurasi dan kegagalan menunjukkan bukti ilmiah pada level ini akan membawa bahwa fisioterapi hanya betkontribusi pada upaya rehabilitasi.
 

2. Tantangan Perusahaan Asuransi.

Stabilnya sebuah pemerintahan demokrasi sering kali terkait erat dengan program jaminan sosial. Kita belum lupa bahwa salah satu point kuat yang membuat Barrack Obama menjadi presiden amerika adalah program jaminan ini dimana jaminan pelayanan kesehatan . Hal yanh sama terjadi di Indonesia, sebelum era BPJS yg dimulai oleh presiden SBY , kita bisa melihat bahwa di hampir semua program pemimpin propinsi atau kebupaten dan kota adalah meninhkatkan jaminan sosial dan kesehatan. Hari ini fisioterapi di Indonesia dihadapkan pada program BPJS yang diteruskan oleh pemerintahan Joko Widodo. Satu hal yang harus difahami adalah bahwa perusahaan asuransi kesehatan selalu mencari atau hanya akan mau menanggung untuk penyakit yang jelas prognosisnya dan untuk tindakan yg memberi kepastian (ilmiah). Jawaban atas persoalan ini sesungguhnya terkait apakah fisioterapi mampu menjawab tantangan ilmiah. Jika tidak maka tak akan satupun perusahaan asuransii percaya bahwa fisioterapi memiliki manfaat buat kesehatan, termasuk didalamnya BPJS


FISIOTERAPI BEKASI -    Imron menambahkan, banyaknya tenaga fisioterapi yang dikerahkan di lokasi bencana dikarenakan proses rehabilitasi fisik korban gempa memerlukan penanganan jangka panjang. Itulah sebabnya, relawan fisioterapi di Lombok telah siap siaga dalam menangani korban sejak gempa pertama hingga saat ini. Proses penanganan pun akan terus berjalan dalam jangka panjang.



Tanah Lombok diguncang serangkaian gempa, korban berjatuhan dan ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal. Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban gempa Lombok per akhir Agustus lalu mencapai 515 orang meninggal dunia, 1.415 korban luka, 431.416 mengungsi, dan 73.843 rumah mengalami kerusakan. Kementerian Sosial telah menyiapkan dana sebesar Rp250 miliar dari anggaran tanggap darurat untuk biaya rehabilitasi pasca bencana. Tambahan anggaran sebesar Rp200 miliar pun digulirkan untuk perlindungan sosial.


PP IFI menyerahkan bantuan kepada korban gempa Lombok
Jika bantuan dalam bentuk materi telah dipersiapkan oleh pemerintah, lalu bagaimana dengan bantuan berupa perawatan kesehatan para korban gempa? Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) telah menurunkan sejumlah fisioterapis untuk memberikan layanan rehabilitasi terhadap para korban gempa. Fisioterapis yang diturunkan di lokasi bencana datang dari berbagai daerah di Indonesia yang kemudian disebarkan di sejumlah titik pengungsian.

“Dari Makassar ada puluhan fisioterapis, termasuk juga mahasiswa yang berpartisipasi membantu korban gempa. Dari Lombok sendiri ada sekitar 40 fisioterapis yang turut menangani,” ungkap Ali Imron selaku Ketua Umum IFI, Jumat (7/9).

Imron menambahkan, banyaknya tenaga fisioterapi yang dikerahkan di lokasi bencana dikarenakan proses rehabilitasi fisik korban gempa memerlukan penanganan jangka panjang. Itulah sebabnya, relawan fisioterapi di Lombok telah siap siaga dalam menangani korban sejak gempa pertama hingga saat ini. Proses penanganan pun akan terus berjalan dalam jangka panjang.

“Jumlah yang diturunkan cukup banyak, karena rehabilitasi fisik ini bersifat sustainable, tidak seperti misalnya penyakit diare yang sudah diberi obat dan asupan makanan kemudian akan sehat kembali. Cedera patah tulang memerlukan perawatan jangka panjang, sedangkan banyak sekali korban gempa yang mengalami patah tangan dan kaki, serta lumpuh,” papar Imron.

Penanganan rehabilitasi tidak hanya diberikan kepada orang dewasa saja, melainkan juga anak-anak. Khusus untuk penanganan korban anak, tim medis dibantu oleh relawan lain yang bertugas memberikan penghiburan dan edukasi kepada anak-anak untuk meredakan dampak bencana terhadap psikologis anak.

Mengenai pemulihan dari segi psikis, hal ini berkaitan dengan tema besar World Physical Therapy Day (PT Day) yang dirayakan setiap 8 September. Tahun ini, PT Day mengangkat tema “Physical Therapy and Mental Health”, yang menggambarkan peran penting kesehatan fisik terhadap kondisi mental. World Confederation for Physical Therapy (WCPT) meyakini bahwa latihan fisik merupakan salah satu faktor penting yang mampu meredakan persoalan psikis, seperti depresi. Hal ini juga berlaku bagi para korban gempa Lombok yang kehilangan orang-orang terkasih dan harta bendanya.

“Orang yang mengalami bencana alam tentu mengalami stres berat. Rekan-rekan kami yang bertugas di Lombok telah dilatih untuk menangani pasien yang terkena dampak bencana secara psikis. Kami mendorong para korban untuk melakukan aktivitas fisik yang mampu mengurangi dampak tekanan psikis saat gempa,” tutur Imron.